99 Dualisme Dalam Dunia Pendidikan


Pendidikan akan terus bergerak maju seiring dengan pergerakan masa. Semakin maju suatu masa maka secara normatif, pendidikan harus berada digaris paling depan untuk menyongsong kemajuan itu.

Namun terkadang terjadi crash atau ketimpangan dalam alur perjalanan suatu masa. Saat kemajuan teknologi semakin membara, disisi lain "kualitas" pendidikan justru makin membeku dan pada akhirnya kualitas tinggi dalam pendidikan hanya menjadi isapan jempol semata.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Padahal hampir setiap tahunnya di tempat manapun di belahan dunia ini, sarjana-sarjana intelektual tak pernah ada habisnya di cetak, tak terkecuali di bumi pertiwi yang kita cintai ini, Indonesia.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah, karena analisa yang harus dilakukan tentunya memerlukan data-data yang akurat dan relevan. Tetapi sebagai manusia yang dikaruniai akal dan pikiran, bahkan hanya dengan sebuah renungan pun kita bisa menjawab dan menemukan alasan yang pas dan sesuai.




Kualitas pendidikan tak mampu mengimbangi kemajuan teknologi karena adanya dualisme dalam dunia pendidikan. Dua hal yang seharusnya berjalan beriringan malah dipisahkan, berjalan dalam lorong-lorong kegelapan, padahal keduanya akan bersinar binar jika disatukan, menjadi jalan pembuka bagi kebangkitan dunia ilmu pengetahuan.

Baiklah jangan terlalu berlebihan, tetapi sebenarnya memang seperti itulah adanya. Dualisme tersebut adalah pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.

Inilah yang menjadikan sarjana-sarjana intelektual tadi tak mampu mengimbangi kemajuan zaman. Alih-alih intelektual berdasi malah jadi intelektual basi, yang katanya politikus dermawan padahal hanya tikus-tikus parit yang kelaparan. Ironis memang, ya memang ironis. Untuk apa ada pendidikan sampai setinggi eiffel tetapi pada akhirnya hanya melahirkan manusia-manusia rendah dan payah.

Pendidikan kognitif memang penting. Ya, siapa yang bilang itu tidak penting. Tanpa pendidikan kognitif bahkan anda takkan pernah paham apa yang saya tulis ini, jangankan paham, membaca saja mungkin tidak akan bisa, Tanpa pendidikan kognitif anda takkan pernah mengenal tulisan maupun angka. Singkatnya saya katakan tanpa pendidikan kognitf anda bodoh. Wong gimana gak bodoh mosok mbaca karo nulis aja ora bisa. Piye toh!!

Lantas bagaimana anda memperoleh pendidikan kognitif? Ya dengan bersekolah. Bersekolahlah mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat dewa maka anda akan mafhum apa itu pendidikan kognitif.

Tetapi sayang beribu sayang label pendidikan di masa kini yang katanya era digital ini mengalami penurunan pangkat atau bahasa semantiknya hiponim.  Jika anda mengatakan hantu, orang pasti akan bertanya hantu apa? Pocong kah, Kuntilanak kah, Genderuwo kah, atau Tuyul? Orang akan langsung mafhum jika kemudian anda mengatakan itu pocong. Tak perlu diperjelas lagi bahwa pocong itu hantu, iya kan? Siapa yang tidak sepakat bahwa pocong adalah hantu maka berarti dia siap berteman dengan pocong....hehehe




Begitupun dengan pendidikan. Jika anda mengatakan pendidikan, orang seharusnya bertanya, pendidikan apa? Pendidikan kognitif kah, pendidikan karakter kah, atau pendidikan spiritual?

Tetapi, seperti yang saya sebutkan tadi, "sayang beribu sayang", ketika kata pendidikan disebutkan maka itu berarti pendidikan kognitif, titik. Sementara pendidikan karakter dan pendidikan spiritual, jangankan dianaktirikan, malah dibuang entah kemana.

Inilah yang saya sebut penurunan pangkat. Orang tak lagi mengenal pendidikan karakter. Yang mereka tahu, pendidikan adalah saat seseorang menuntut ilmu dari bangku dasar sampai bangku sarjana (pendidikan kognitif), Udah cukup.

Padahal, keduanya harus diseimbangkan bukan didualismekan. Sebuah kata kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu cacat. Barangkali seperti itu, bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan tetapi dengan lambat. Sebaliknya, pendidikan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain.

Untuk itu, keduanya harus dijalankan dan dimaksimalkan dengan seimbang. Sudahlah, sampai kapan kita akan menunggu gebrakan dari pemerintah, biarkan saja mungkin mereka lelah dengan rutinitas yang begitu sibuk. Mulailah membangun pendidikan karakter bagi anak anda (Jika anda sudah berkeluarga). Karena saya masih berstatus sebagai anak, maka sebagai penulis pun saya akan terus berusaha membangun pendidikan karakter ini.

Saya rasa penelitian Harvard yang menyebutkan bahwa 20% keberhasilan seseorang ditentukan oleh kepintaran (kognitif) dan sisanya oleh karakter, merupakan bukti empiris yang bisa dijadikan pedoman dalam meniti karir dan kesuksesan.

Kepekaan terhadap teman, tanggung jawab, kejujuran, dan dedikasi adalah wujud dari pendidikan karakter. Dan itu tidak akan anda dapatkan dalam bangku sekolah manapun. Karena sejatinya pendidikan karakter adalah pelajaran bagaimana anda menjalani kehidupan.

Demikianlah karena saya tak sanggup lagi merenung, takutnya renungan yang terlalu dalam akan membuka tabir kebiadaban pendidikan saat ini tak terkecuali di negeri tercinta, Indonesia.




Pesan saya, Sudahlah jangan memaksakan dualisme dalam dunia pendidikan. Jangan sampai pendidikan karakter dilupakan, sementara pendidikan kognitif dipaksakan. Begitulah kira-kira, sekian wassalam.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : 99 Dualisme Dalam Dunia Pendidikan